Minggu, 16 Juli 2017

JADI RASIS?






Musim kenaikan kelas, pertengahan 2011.

  Pagi buta, mata sayu dan separuh nyawa masih tertinggal di kasur. Gue memaksakan diri bangun, hari itu gue sudah resmi lulus dari SMP. To the next step, SMA errr SMK i mean. Handuk sudah melingkar di leher, aroma seragam baru pun masih sangat menempel di kepala gue saat itu. Sepatu lama yang masih bisa dipakai dan lembaran buku baru yang siap untuk di isi dengan coretan yang berbeda. Hari itu gue siap. Sudah sangat siap.


  Mengawali hari pertama menjadi anak SMK menurut gue akan menyenangkan, bertemu dengan orang baru, beberapa teman dari SMP juga ada yang lanjut sekolah disini. Dalam pikiran gue hari itu akan menjadi baik-baik aja. Dan memang, menjadi baik-baik aja. sampai satu ketika.

  “iiiitssss Budha! Tom Sam Chong!”, gue tau persis suara itu. Dari SMP dia sudah atau lebih tepat nya genk mereka memang sering mengejek gue dengan memanggil agama gue atau hal yang ada hubungan nya dengan agama gue.

   Gak satu dua kali gue mendapat sindiran seperti “eh Budha!”, atau “woi kafir”, atau lagi “Biksu! Biksu! Amitabha!” itu semua sudah gue dengar dari gue sekolah dasar, dan berlanjut hingga gue Sekolah di SMK ini. Ironis nya, kata-kata itu gak Cuma keluar dari teman seumuran gue, pernah beberapa kali guru pun ikut mengejek dengan bahasa yang lebih halus dengan kata seperti, “kenapa gak masuk I**am pen? Kalau Dayven masuk I**am semua dosa Dayven diampuni loh”, dan sejak saat itu gue sadar, banyak orang yang mengintimidasi orang-orang yang “berbeda” karena memang didaerah tempat tinggal gue mayoritas muslim.

   Terkadang, gue sempat marah, tapi gue lebih suka diam memperhatikan daripada gue balas dengan amarah. Apa yang salah dari gue? Apakah Agama gue salah? Atau kelakuan gue yang salah? Dan gue sadar. Mereka lah yang salah, salah menilai seseorang dari Agama apa yang mereka anut. Gue yakin, Agama adalah hak seseorang dan gue berhak atas apa yang gue percaya, mereka juga berhak atas agama apa yang mereka anut. Gue enggak pernah merasa terganggu. Dan gue juga selalu menjaga omongan gue, hingga saat ini gue enggak pernah menanyakan, “kenapa lo milih bergama ini?” dan itulah perbedaan mereka yang mencela gue, hanya dari pola pikir. Gue enggak pernah menilai seseorang dari warna kulit mereka, pakaian mereka apa atau apa yang mereka punya. if you nice to me, i’ll be nice to you. But, if you want to blame me, sorry i am not stupid asshole people like you.

   Sekarang, gue lebih sadar, mereka yang dulu mencela gue, sekarang tidak lebih baik dari gue yang sekarang. Mungkin karena pola pikir nya yang begitu-gitu aja, atau memang mereka nyaman dengan pola pikir seperti itu. And thats why, gue bersyukur tidak terlahir di keluarga yang mengajarkan rasisme.

   Dan, gue masih punya satu pertanyaan kepada kalian, apakah menjadi rasis itu membuat hidup kalian lebih menarik? Jika iya, mungkin kalian harus mencoba melihat dunia, dari kacamata yang berbeda. Caooooo.


  

Tidak ada komentar: